Ilmu Tiada Bertepi; Cinta tiada berbatas; }

Rabu, 26 Januari 2011

kajian thariqah alawiyyah 1

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama. Kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa. Dan tidak ada permusuhan kecuali atas orang-orang yang berbuat zalim. Shalawat dan salam yang sempurna dan menyeluruh semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Muhammad, pemuka keturunan Adnan, dan juga semoga terlimpahkan kepada para keluarga dan sahabat-sahabat beliau yang arif.


Amma ba’du. Sesungguhnya mengetahui thariqah para salaf adalah termasuk keharusan yang sangat. Dan menyimpang kepada selainnya dari jalan-jalan lain yang beraneka ragam perpecahannya adalah merupakan suatu kebinasaan dan kerugian. Oleh karena itu aku disini ingin menghiasi kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin1 dengan kitabku yang berjudul Al-Ilm An-Nibroos fi At-Tanbiih Alaa Manhaj Al-Akyaas dengan tujuan agar seorang yang bodoh sepertiku ini dapat mengetahui thariqah para salaf dan apa-apa yang para saadah2 yang mulia berjalan diatasnya, khususnya para saadahku Al-Alawiyyin yang tercinta dan cendekia. Maka aku menjadikan kalimatku ini sebagai kalimat pembuka bagi kitab ini. Semoga Allah memberikan taufik menuju kebenaran. Dan sekarang inilah saatnya memulai dalam menggapai tujuan.

Allah Ta’ala berfirman :


“Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan menuju Allah yang bagi-Nya segala apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Ketahuilah, hanya kepada Allah-lah kembalinya segala urusan.”

Itulah Beliau SAW, pembawa petunjuk dengan cahaya Allah Ta’ala kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya. Untuk siapa saja yang berjalan lebih dahulu diatasnya, maka inayah Allah baginya menuju jalan yang lurus. Itulah jalan yang ditunjukkan oleh suatu ayat :

“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain) karena dapat memisahkan kalian dari jalan (lurus) itu.”

Itulah jalan yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

“Tidak menyentuhnya suatu kebatilan, baik dari hadapannya maupun dari belakang, diturunkan dari Yang Maha Bijak lagi Maha Terpuji.”

Itulah jalan yang diperjelas dalam perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan beliau SAW, yang dapat diambil sebagai contoh daripada keadaan-keadaan beliau SAW di dalam perjalanan dan akhlaknya, dan juga daripada para tokoh sahabat dan keluarga beliau, serta para salafus sholeh yang mengikuti mereka dan begitu juga orang-orang yang mengikuti mereka.

Sungguh telah menjelaskan semua itu dua orang imam, yaitu Al-Imam Abu Thalib Al-Makky di dalam kitabnya Al-Quut, dan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy di dalam kitabnya Ar-Risaalah3. Dan begitu juga dengan orang-orang yang berjalan mengikuti kedua imam tersebut. Kemudian datanglah Al-Imam Al-Ghazali memerincinya, membaguskannya, menuliskannya, mengklasifikasikannya, menguatkannya dan menjadikannya lebih baik. Inilah jalan yang ditempuh oleh saadah Bani Alawi yang berasal dari Hadramaut dan bernasabkan ke sayyidina Husain (cucu Nabi SAW). Demikianlah mereka menerimanya dari generasi demi generasi, dari ayah ke ayah, dan mereka mewarisinya dari semenjak Al-Imam Husain, kemudian Al-Imam Ali Zainal Abidin, kemudian Al-Imam Muhammad Al-Bagir, kemudian Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, dan begitulah seterusnya diterima bergenerasi dari pemuka para imam sampai sekarang ini. Dengan demikian dapat diketahui bahwa jalan para Saadah Bani Alawy tiada lain adalah Al-Kitab dan As-Sunnah. Derajat mereka bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui dengan apa-apa yang mereka lakukan.

Berkatalah Al-Imam Syaikhul Islam Abdullah bin Ahmad Basaudan di dalam kitabnya Al-Futuuhaat Al-’Arsyiyyah :

“Sesungguhnya para saadatunal Al-Alawiyyin (semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita berkat mereka dan asrar4 mereka), kebanyakan dan sebagian besar dari mereka tidak memberikan perhatian, tidak bergiat diri, dan tidak bersungguh-sungguh, kecuali setelah menguatkan ilmu-ilmu muamalat5 secara keilmuan, amal dan perasaan.”

[Diambil dari kitab Al-'Alam An-Nibroos, karya Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Atthas]


1. Kitab Sabiil Al-Muhtadiin fi Dzikr Ad-iyah Ashaab Al-Yamiin adalah merupakan kitab yang disusun oleh beliau sendiri yang di dalamnya banyak berisi dzikir, wirid dan shalawat, yang berasal dari para auliyaillah. Kitab ini sangat terkenal di kalangan salaf kita dan merupakan pedoman untuk dipakai sebagai amalan dzikir, wirid dan shalawat. Berkata Asy-Syeikh Muhsin bin Nashir bin Sholeh terhadap kitab ini, “Majmu’ ini andaikata dijual/ditukar dengan emas berlian, pastilah si pembelinyalah yang akan beruntung dengan mendapatkan cahaya dan keselamatan pada hari kiamat.”

2. Saadah : pemuka, orang-orang mulia, tokoh, panutan atau pemimpin dalam suatu kaum.

3. Oleh karena itu biasanya kitab Ar-Risaalah karangan Al-Imam Abul Qasim Al-Qusyairy ini terkenal dengan nama Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah.

4. Kata asrar bentuk jamak dari kata sirr yang berarti rahasia. Kata ini sering dipakai dalam dunia tasawuf, yang mempunyai makna yaitu rahasia kebaikan dan kemuliaan yang dipunyai oleh seseorang atau sesuatu.

5. Ilmu-ilmu muamalat yang dimaksud disini adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Allah dan makhluk-Nya, seperti ilmu tentang bagaimana caranya beribadah kepada Allah, ilmu tentang hukum-hukum Allah, ilmu tentang bagaimana berinteraksi dengan manusia dan sebagainya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------


CATATAN KAKI :
1. Yang dimaksud kitab Ihya’ disitu adalah kitab Ihya’ Ulumiddin, karangan Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali. Dalam pandangan para aimmah (pemuka) salaf kita, kitab Ihya’ menjadi suatu bacaan wajib bagi para Alawiyyin. Berkata salah seorang pemuka dari mereka, Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saggaf, “Barangsiapa yang tidak pernah membaca kitab Ihya’, maka ia tak mempunyai rasa malu.” Demikian juga dengan yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Aidrus, “Bagus, bagus, bagus, bagus, bagi seseorang yang menjadikan kitab Ihya’ sebagai keluarganya, hartanya dan tanah airnya.” Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menambahkan, “Dengan Ihya’ Ulumiddin, hati kita dapat menjadi hidup.”


2. Sudah merupakan prasyarat bagi mereka bahwa mereka harus berdakwah terhadap diri sendiri sebelum mereka berdakwah kepada orang lain. Sehingga dakwah mereka dapat memberi kesan yang mendalam kepada orang lain…suatu dakwah yang jujur dan penuh dengan kejujuran.

3. Dakwah merupakan suatu kewajiban yang mereka emban sebagai konsekuensi nikmat nasab yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Sehingga mereka gemar sekali melakukan perbuatan dakwah, baik dengan perbuatan, perkataan ataupun dengan sikap. Berkenaan dengan keagungan tugas dakwah ini, Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pernah berkata, “Tidak ada suatu perbuatan baik yang dapat meninggikan derajat kedudukan seseorang di sisi Allah secepat perbuatan dakwah.”

4. Doa-doa Nabawiyyah adalah doa-doa yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

5. Sebagian di antara ahli sastra Arab mengatakan bahwa lafadz alf (seribu) dalam bahasa arab menunjukkan makna banyaknya sesuatu. Selain itu, dalam sastra Arab, makna banyaknya sesuatu juga seringkali ditunjukkan dengan lafadz sab’uun (tujuh puluh).

6. Dalam pandangan mereka, selama seseorang itu min ahli laa ilaaha illallah (muslim), ia mempunyai bekas-bekas kebaikan. Oleh karena itu, sikap husnudz dzon (berbaik sangka) terhadap hamba Allah merupakan sikap dasar yang melandasi thariqah mereka.

7. Uzlah adalah mengasingkan diri dari berbagai macam tingkah pola manusia, semata-mata karena takut dan kuatir terpengaruh keburukan dari mereka. Namun demikian, mereka melakukan demikian setelah mereka tahu tentang syariah agama, sehingga mereka dapat menempatkan uzlah itu pada suatu tempat yang proporsional.

Dikutib Dari Bisyarah.

Tidak ada komentar: